
BAKORNAS | Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK resmi menahan Wali Kota Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) periode 2018-2023, Muhammad Lutfi atas dugaan tindak pidana korupsi dalam kegiatan pengadaan barang dan jasa serta penerimaan gratifikasi di lingkungan Pemerintah Kota Bima, NTB.
“Untuk kebutuhan proses penyidikan, dilakukan penahanan pertama pada tersangka MLI selama 20 hari, mulai 5-24 Oktober 2023 di Rutan KPK,” kata Ketua KPK, Firli Bahuri dalam konferensi pers, Kamis, 5 Oktober 2023.

Adapun konstruksi perkara ini, dijelaskan Firli, bermula pada 2019, Lutfi bersama dengan salah satu keluarga intinya mulai meminta dokumen berbagai proyek yang ada di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pemkot Bima.
“Kemudian tersangka memerintahkan beberapa pejabat di Dinas PUPR dan BPBD Pemkot Bima untuk menyusun berbagai proyek yang memiliki nilai anggaran besar dan proses penyusunannya dilakukan di rumah dinas jabatan Wali Kota Bima,” ujarnya.
Sementara nilai proyek yang dikondisikan Lutfi di Dinas PUPR dan BPBD Pemkot Bima untuk Tahun Anggaran 2019 – 2020 mencapai puluhan miliar rupiah.
“Kemudian secara sepihak langsung menentukan para kontraktor yang ready untuk dimenangkan dalam pekerjaan proyek-proyek dimaksud. Proses lelang tetap berjalan akan tetapi hanya sebagai formalitas semata dan faktualnya para pemenang lelang tidak memenuhi kualifikasi persyaratan sebagaimana ketentuan,” kata dia.
Atas perbuatan itu, Lutfi menerima setoran uang dari para kontraktor yang dimenangkan dengan jumlah hingga mencapai Rp 8,6 Miliar, dengan rincian yakni proyek pelebaran jalan Nungga Toloweri, pengadaan listrik dan PJU perumahan Ol’Foo.
“Teknis penyetoran uangnya melalui transfer rekening bank atas nama orang-orang kepercayaan MLI termasuk anggota keluarganya,” ujarnya.
Tak berhenti di situ, kata Firli, Lutfi juga menerima gratifikasi dalam bentuk uang dari pihak-pihak lainnya. Ditambahkannya, Tim Penyidik KPK akan melakukan pendalaman lebih lanjut.
“Tersangka disangkakan melanggar Pasal 12 huruf (1) dan atau Pasal 128 Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” ujar Firli. (Bkr)
Bagikan

